Senin, 28 Desember 2009

Mengenang Almarhum KHR. Totoh Abdul Fatah


Pak Totoh (demikian panggilan akrab untuk KHR. Totoh Abdul Fatah) dilahirkan pada tanggal 31 Agustus 1931 di Balonggede, Sebelah selatan Masjid Agung Bandung. “Ayah saya seorang kiai asal Limbangan Garut, yang kemudian menjadi ambtenar. Beliau bekerja di Departemen Agama. Ibu saya pun seorang guru agama di SLTA, serta pernah pula mengajar mengaji di lingkungan tentara.” ungkap beliau kepada penulis beberapa tahun yang lalu.
Pak Kiai yang lahir dari pasangan Hj. R. Siti Rahmah dan KHR. Achmad Badruddin ini, di samping sekolah di HIS Budi Harti, Garut, juga mondok di pesantren. Beliau adalah alumni Pesantren Situgede Monggor Limbangan Garut, lalu Pesantren Cikelepu Limbangan Garut, kemudian Pesantren Karangsari Leles Garut, tahun 1951. Setelah itu, belajar ke Pesantren Sindangsari (sekarang ada tambahan Al-Jawami) yang terletak di Cileunyi. Di Pesantren ini pula Pak Totoh mendapat jodoh. Ia menikah dengan putri gurunya Mama Kiai Sudja’i, bernama Hj. Siti Maryam.
“Di pesantren ini, saya dulu jadi lurah santri. Saya selalu mendampingi Mama Kiai Sudja’i, sampai akhirnya alhamdulillah, saya jadi menantunya,” kenang almarhum.
Pak Totoh melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum. Setelah tamat dari Aliyah, lalu melanjutkan ke Universitas Islam Nusantara (UNINUS), kemudian ke IKIP Bandung dan akhirnya ke Institut Dakwah Islam (IDI) Bandung.
Pada Tahun 1958, Pak Totoh bekerjasama dengan Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat (Sekarang Panglima KODAM III Siliwangi) Kolonel RA. Kosasih dan Letkol H. Mashudi dalam rangka mengorganisir alim ulama sebagai tenaga pendidik dan tokoh yang berpengaruh di kalangan masyarakat maka dibentuklah Majelis Ulama, berdasarkan hasil kesepakatan pada waktu itu diputuskan sebagai Pelindung Dewan Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat, Ketua Umum Majelis Ulama yaitu Ajengan HM. Sudja’i (Mama Pst. Cileunyi), Ketua I Ajengan H. Sayyid Utsman (Pst. Assalam Bandung), Ketua II H.R. Sutalaksana (Kepala Penerangan Agama), Ketua III HM. Soefri Djamhari (Unsur TNI), Sekertaris Umum A. Zainuddin (Tentara Opris TT.III), Sekertaris I Ust. Totoh Abdul Fatah (Guru Pst. Cileunyi), Sekertaris II Ahmad Jazuli (Peg. Kependap Jabar), Bendahara I Ajengan H. Abdul Malik (Pst. Garut), Bendahara II Ajengan HM. Burhan (Pst. Cijawura Bandung).
Dengan dibentuknya Majelis Ulama pada tahun 1958 ini, akhirnya menjadi cikal bakal dibentuknya MUI tingkat pusat pada tahun 1975, beliau sendiri keterlibatannya di Majelis Ulama ini pada Tahun 1985 akhirnya menjadi Ketua Umum MUI Jawa Barat setelah menggantikan Dr. K.H. E. Zaenal Muttaqien yang wafat setelah mengalami kecelakaan lalu lintas di sekitar Nagreg Bandung.
Pada Tahun 1977, Pondok Pesantren Sindangsari diganti dengan nama Pondok Pesantren Al-Jawami. Nama Al-Jawami memiliki arti lengkap atau universal. Nama ini diambil dari nama sebuah kitab yang disenangi guru beliau Mama Kiai Sudja’i, yaitu Kitab Ushul Fiqih “Jam’ul Jawami”.
Semenjak Mama Kiai Sudja’i meninggal dunia, tahun 1987, Pak Kiai Totoh menjadi sesepuh di Pesantren Al-Jawami. “Pengelolaan pendidikan disini tidak hanya berada pada satu tangan saja. Selain saya, beberapa orang saudara ipar saya punya tugas dan tanggung jawab masing-masing, kepemimpinan disini lebih bersifat kolektif” ia menjelaskan.
Yang diwariskan Mama Kiai Sudja’i bukan saja jabatan sesepuh pesantren, Pak Totoh juga mendapat kepercayaan sebagai pengajar yang mesti membahas kitab Jam’ul Jawami’ karangan Syaikh Tajuddin Ibnu as-Subki. Selain itu, setiap hari kamis pagi ia punya kewajiban mengajar kepada para ulama yang datang dari berbagai daerah di seputar bandung timur, juga pengajian kamisan yang diikuti ribuan ibu-ibu yang kini diasuh oleh adik ipar beliau KH. Imang Abdul Hamid Sofandi (Putra bungsu Mama Sudja'i).
Pak Totoh pernah menjadi Guru Agama SLTA (1968), Penghulu Kotamadya Bandung (1969-1973), Kepala Kandepag Kota Bandung (1975-1980), Kepala Bidang Penerangan Agama Islam Kanwil Depag Jabar (1980-1982), Hakim Tinggi Agama/ Wakil Ketua PTA untuk Wilayah Jabar dan DKI Jakarta (1982-1985), Penatar BP7 Jawa Barat (1982-1985), Staf Ahli BAPPEDA Jabar (1982-1985), Dosen Hukum Islam APDN Bandung (1982-1985), Na’ib Amirul Hajj (1992), Anggota MPR RI dari FKP No.C.727 (1992-1999).
Dalam keorganisasian, pernah menjadi Lurah Santri (1951-1955), Sekertaris Majelis Ulama (1958-1969), Pembina Rohani di Lingkungan TNI dan kepolisian Negara Bandung Timur (1969-1974), Ketua Sekber Golkar Kandepag Kodya Bandung (1969-1974), Rais Syuriah NU Kecamatan Cibeunying (1970), Ketua DKM Masjid Agung Bandung (1973-1980), Ketua Al-Washliyah Jawa Barat (1975), Ketua Korpri Unit Kandepag Kodya Bandung (1974-1980), Pendiri Islamic Centre/ Pusdai Jabar (1988), Pendiri RS. Islam Al-Ihsan (1992), Ketua Korpri Unit PTA Jabar (1988-1990), Dewan Penasehat DHD ’45 Jawa Barat (1989 -1990), Ketua Umum DMI Jabar (1983-1993), Dewan Pertimbangan MUI Pusat (1990-2000), Dewan Pembina DMI Pusat (1993-2000), Wakil Ketua Ikatan Purnabhakti Hakim Agama Nasional (1992-1997), Wakil Ketua Panwaslu (Panitia Pengawas pemilihan Umum) Jawa Barat pada Pemilu 1999, Ketua Umum MUI Jabar (1985-2000), Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah (2000-2005), Ketua Dewan Penasehat MUI Jabar (2005-2008).
Almarhum termasuk salah satu tim pemrakarsa pembuatan Al-Qur’an Mushaf Sundawi, mushaf kebanggaan rakyat Jawa Barat yang peresmiannya pada tanggal 14 Agustus 1995 bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1416 H oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Bapak H.R. Nuriana.
Pak Kiai dikenal juga sebagai penulis yang banyak mencurahkan minatnya terhadap masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan hukum-hukum Islam. Karya-karyanya yang telah terbit dan beredar, antara lain: (1) Jembatan Dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan, (2) Batasan Mulai Usia Perkawinan, (3) Politik Dakwah (Dakwah Melalui Jalur Politik), (4) Bank tidak Identik dengan Riba, (5) Pokok-pokok Syariat Islam, (6) Istinbatil Hukmi, (7) Rumah Tangga Sakinah, (8) MUI Menggagas Perwujudan dan Pelaksanaan Reformasi, (9) Ayat-ayat Hiriz dan Ayat-ayat Rizki dalam Do’a, (10) Asmaul Husna dan Asmaur Rasul, (11) Al-Jawami dalam membahas Jam’ul Jawami’.
Masih teringat, ketika menjelaskan kitab Jam’ul Jawami’ yang sulit difahami bagi kami setelah disampaikan beliau begitu mudah dicerna, hal ini mungkin karena kedalaman ilmu, kesalehan dan penyampaiannya yang diselingi dengan humor-humor segarnya.
Kemampuan beliau dalam menyampaikan pengajaran, memberikan nasihat, bimbingan dan bantuan pemecahan masalah pendidikan sampai kepada kesulitan masalah keluarga ikut mengangkat beliau sebagai seorang penasihat yang baik dan banyak berhasil. Demikian pula banyak masyarakat yang tertarik bila beliau berceramah, karena gaya dan caranya yang lembut, santai dan bijak penuh pesona.
Disaat sangat diperlukan penterjemah antara ulama/ umat beragama dengan pemerintah, beliau menunjukan sebagai penterjemah yang baik, dengan kecakapan beliau menempatkan diri sebagai penterjemah gagasan-gagasan pembangunan nasional maupun daerah, juga mampu memberikan motivasi dengan bahasa agama yang baik dan benar, sehingga menghilangkan keraguan masyarakat.
Beliau adalah salah seorang profil ulama yang ka bala ka bale (bisa bergaul dengan kelompok masyarakat apa saja). Ia tidak saja dikenal di lingkungan santri, namun juga di kalangan birokrat.
“Saya berpendapat, kegiatan dakwah itu bisa dilaksanakan tidak hanya billisan dan bilhal saja, namun juga melalui jalur politik,” tutur Pak Totoh. Dijelaskan lebih jauh, dakwah melalui jalur politik bisa diartikan mendampingi orang yang punya kekuasaan atau wewenang. Ini lebih praktis, leluasa, dan mengikat.
Dakwah di jalur politik bisa bermakna juga dakwah melalui tangan umaro. Menurut Pak Totoh, hal ini sangat efektif. Dakwah dijalur ini bisa berjalan lancar jika ada pendekatan antara infra dengan supra struktur. Dari pendekatan tersebut akan lahir gagasan-gagasan yang menguntungkan kehidupan beragama.
Mengenai kondisi sekarang ini, Pa Totoh berpendapat, pada masa kini umat Islam mesti punya filter, untuk menyaring berbagai dampak negatif dari dunia luar. “Keberadaan masjid, pesantren, dan rumah tangga sakinah adalah filter. Sebut saja, filter globalisasi,” tegas almarhum.
Khusus tentang ciri-ciri rumah tangga sakinah, Pak Totoh merincinya menjadi tiga unsur, yaitu bebas dari kekufuran, bebas dari kefakiran dan bebas dari kebodohan. Hal ini mesti diusahakan tercipta pada setiap kehidupan rumah tangga.
Dalam rumah tangga sakinah disamping terdengar deburan air mandi, harus terdengar pula percikan air wudlu untuk bersuci. Di samping terdengar nyanyian merdu, harus terdengar pula alunan kalam ilahi nan syahdu. Di samping terhampar permadani yang indah, harus terdapat pula hamparan sajadah. Tanda bukti kita taat beragama. Sebab hidup tanpa agama, akan sasar (sesat). Tanpa ilmu, akan kesasar. Tanpa seni, kasar.
“Walau bagaimanapun, globalisasi yang sekarang ramai diperbincangkan ini akan membawa dampak negatif. Kita ikut arus globalisasi bukan untuk mencari kejelekan. Ibaratnya petani yang tanam padi, maka di sawahnya itu dengan sendirinya akan tumbuh ilalang. Sedangkan kalau ia tanam ilalang, maka padi tidak akan ikut tumbuh,” ungkapnya.
Kesetiaan Pak Totoh untuk mengabdi kepada tugas dan ketekunannya sebagai pendidik, sangat diakui oleh banyak orang dan kalangan, sebagaimana yang telah dibuktikan dengan didirikannya pendidikan formal, dibawah naungan Yayasan Pembina Pendidikan Tinggi (YAPATA) Al-Jawami yaitu Madrasah Aliyah (1977), Sekolah Tinggi Bahasa Asing (1989), Sekolah Tinggi Agama Islam (1999), Taman Kanak-kanak (2000) di lingkungan Pontren Al-jawami, yang sekarang di asuh oleh putera keempatnya, DR. H. Deding Ishak Ibnu Sudja’, SH.,MM.
Pak Totoh berpulang ke Rahmatullah (wafat) pada hari Senin, 01 September 2008 M (01 Ramadhan 1429 H) Pukul 10.17 WIB di RS. Hasan Sadikin Bandung setelah lebih kurang 15 hari dirawat di Ruang Perawatan Khusus (ICU) dan di makamkan di TPU Cileunyi Wetan Bandung pukul 16.00 WIB.
Dengan suara lirih, Bu Hj. Siti Maryam, sempat mengungkapkan tentang suka dukanya bersama almarhum, terutama sebagai pendampingnya, yang merasakan dan mengalami langsung, bagaimana memberikan dorongan kepada suami untuk meneruskan pendidikan, menambah pengetahuan, mencapai karir, dan sekaligus menjadi Bapak dari anak-anak.
Pak Totoh sebagai Bapak, pemimpin, pendidik dan alim kita telah tiada diantara kita. Atas hal itu marilah kita iringkan do’a semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan beliau, melimpahkan rahmat kepada beliau, dan memasukkan beliau ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu.
Alfatihah...

Selamat Tahun Baru 2010

Dipenghujung tahun ini aku cuma mampu berkontemplasi,
merefleksi diri dan menyesali masa silam yang kelam,
merenung harapan yang tak jadi kenyataan,
merenung cita-cita yang kandas, rencana yang buyar
mimpi yang tak terpenuhi, janji yang tak terbukti
Geram...aku penuh sesal,
Kesal, sebal.
Cemberut.
Merengut

Oh….. setahun, waktuku begitu tersia sia.
Sudah berbuat apa saja aku ini,
Kemana saja aku ini,
Sudah ada perbaikankah?
atau perubahankah?
Sungguh merugi.........
Waktu yang tak pernah kembali
Detik yang tak mau berbalik
Masa yang begitu berharga.. terbang lenyap,
tanpa menyisakan apapun,
rasa tak bermakna.
Hampa.

Jangankan aku hendak ber-euforia
Apalagi bermetafora
Malu pada diri
pada Tuhanku,
Al-Khalik.

Air mata? Habis. Tak tersisa. Tak guna.
Sejenak aku terdiam..
lalu menenggak keatas langit kelam
kutatap pada kerlip sang gemintang, seakan pantul cahayanya
berbisik:
' Hey..Jangan biarkan dirimu larut dikubangan sesal gagalmu'
' Jadikan ia sejarah dan hikmah masa lalumu'
’Jadikan cambuk pelecut larimu’
' Berhijrahlah, cerialah, bangunlah untuk esok.
' Masih ada hari esok'
’inna ma’al ’usri yusro’
’Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan’

Aku mengangguk dan setuju.
Aku percaya ada hari esok.
Ada secercah harapan
Kendati penuh misteri.
Namun kutetap berharap.
Kalau esok ada mentari,
menguak awan muram,
nan kelabu dan sendu
lalu ada langit biru,
ada burung berkidung.

Ya..demi masa dan waktu
Kutunggu, penuh rindu.

Selamat Tahun Baru 2010

Selasa, 24 November 2009

Pelatihan yang mencerahkan


PT Telekomunikasi Indonesia bekerjasama dengan Harian Umum Republika menggelar program CSR Pendidikan bagi para guru. Kegiatan yang bertema ‘Bagimu Guru Kupersembahkan’ itu digelar di Pusdiklat Telkom Jln. Geger Kalong Hilir No.47 Bandung, Kamis-Jum’at (19-20 November 2009).Kegiatan ini diikuti 65 orang guru, baik tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) di wilayah Bandung dan sekitarnya.
Dan Alhamdulillah penulis termasuk peserta pada kegiatan ini, yang sebelumnya tidak pernah menyangka akan diikutsertakan. Setelah mengikuti pelatihan ini seperti mendapat pencerahan. Semua narasumber yang menyampaikan materi, seperti telah membuka mata-hati saya agar dalam menjalankan tugas sebagai guru, bisa menjadi lebih baik.
Hari pertama, dibuka oleh Gubernur Jawa Barat H.Ahmad Heryawan, sekaligus mengisi materi tentang motivasi. Beliau menegaskan, guru merupakan profesi yang sangat signifikan dalam menyelamatkan bangsa. Kata dia, motivasi kepada guru sangat dibutuhkan. Pasalnya, seorang guru tidak cukup hanya berperan sebagai penyampai mata pelajaran. Guru harus bisa mencetak siswa yang berkualitas, baik ilmu maupun moralnya
Pemateri kedua diisi oleh Irfan Junaedi , dengan materi penulisan popular. Pemaparan beliau pada sesi ini sangat menarik sekali, mungkin Karena kedalaman ilmu beliau dalam hal penulisan. Kata beliau setelah diklat ini usai , mulailah untuk menulis. Usahakan dalam satu hari kita punya sepenggal waktu untuk menuangkan pikiran dalam tulisan. Rasakan manfaatnya. Saya berkeyakinan kuat, jika kebiasaan membuat tulisan harian ini berjalan baik, kemampuan kita dalam menulis secara alami bakal melejit.
Doel Sumbang, mengisi bagian materi ketiga yaitu proses kreatif. Penyanyi terkenal ini menceritakan proses masa mudanya yang penuh tantangan untuk bisa seperti sekarang ini. Kang doel tak menyadari bahwa sampai tahun sekarang telah menciptakan lebih dari seribu judul lagu. Dan proses pembuatan lagu tercepat yang beliau selesaikan adalah lagu ‘kalau bulan bisa ngomong’ kurang dari 20 menit.
Pada hari kedua materinya antara lain Trend IT, Sistem Informasi Administrasi Pendidikan, Kepribadian Menarik dan Komunikasi efektif. Praktisi Leila Mona Ganiem mengisi materi kepribadian menarik memberikan pengetahuan tentang bagaimana seorang guru harus bersikap di depan murid-muridnya dan bagaimana cara proses belajar-mengajar yang efektif di dalam kelas.Sedangkan untuk materi komunikasi efektif disampaikan oleh Farhan. Pengasuh Om Farhan Antv ini, mengisi materi terakhir pelatihan ini. Dalam penyampaiannya penuh dengan cerita-cerita yang menghibur. Farhan mengatakan bahwa komunikasi akan efektif kalau didasari oleh keterbukaan dengan tanpa prasangka.

Senin, 16 November 2009

Segenggam Garam

Disebuah desa tinggallah seorang kakek yang bijaksana dan tempat bertanya masyarakat sekitar, kadang diminta memimpin do’a kalau ada acara-acara tertentu. Pada suatu hari, ada seorang pemuda bertamu yang sedang ditimpa masalah, tangannya selalu dikepalkan dan meninjunya setiap ada benda didekatnya.
Tanpa berlama-lama anak muda ini menceritakan semua problem yang menimpanya, sang kakek hanya manggut-manggut dan mendengarkan dengan khusyu’. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Kakek itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Kakek itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Kakek Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Sang kakek berkata lagi,
"Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya kakek lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.
Dengan bijak, Kakek itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.
"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Kakek Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya
menjadi kesegaran dan kebahagiaan."

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan sang kakek si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa..

Kamis, 12 November 2009

Menulis untuk membebaskan

Oleh Hernowo
Anda harus menulis dan menyingkirkan sekian banyak ‘materi sampah’ sebelum Anda akhirnya merasakan suasana yang nyaman.
-- RAY BRADBURY

Aku tak ingin disiksa oleh buku. Aku juga tak mau jika kegiatan menulisku membebaniku. Aku ingin sekali, ketika membaca dan menulis, seluruh diriku merasakan kebebasan—katakanlah, dalam bahasa yang lebih melayang, “merasakan kebahagiaan”. Aku baru merasakan bahwa membaca itu menyenangkan dan menulis itu menyembuhkan ketika usiaku melewati empat puluh tahun.

Sedari kecil, aku tak punya cita-cita menjadi penulis. Aku juga bukan keturunan keluarga penulis. Tak ada setetes-darah-penulis pun yang mengalir di tubuhku.

Ayahku berasal dari Blora, ibuku dari Magelang. Pekerjaan terakhir ayahku adalah pegawai kantor pajak. Ibuku, seperti istri kebanyakan, adalah ibu rumah tangga.

Agak sulit menjelaskan kenapa aku kini, tiba-tiba, menjadi penulis. Hingga pertengahan 2005, aku sudah menulis 24 buku. Dari ke-24 bukuku itu, 17 buku kuselesaikan dalam waktu 3 tahun! Buku-buku yang kutulis, sebagian besar, berfokus pada dua hal: tentang pengalamanku menjalankan kegiatan baca-tulis dan bagaimana aku menerapkan metode-metode baru kegiatan belajar-mengajar yang menyenangkan dan memberdayakan.

Buku pertamaku, Mengikat Makna, lahir ketika usiaku 44 tahun. Buku pertamaku itu kuterbitkan tepat di hari kelahiranku, 12 Juli 2001. Buku ini berisi tentang paradigma baru membaca dan menulis yang kualami ketika aku bekerja di sebuah penerbitan buku. Dari perumusan konsep “mengikat makna” inilah rupanya proses kreatifku sebagai seorang penulis bermula.

“Mengikat makna” adalah kegiatan sangat penting dalam hidupku setelah aku berusia 44 tahun. Hari-hariku, rasa-rasanya, tak pernah kosong dari kegiatan “mengikat makna”. Aku semakin “rakus” membaca dan bergairah mengeluarkan apa pun, yang aku dapat dari membaca, berkat “mengikat makna”. “Mengikat makna” memang sebuah program yang memadukan kegiatan membaca dan menulis secara bersamaan.

Berulang kali mantra “mengikat makna” kusemprotkan kepada siapa saja yang punya keinginan membaca dan menulis secara menyenangkan dan memberdayakan. Mantra itu, kira-kira, bunyinya seperti ini: “Membaca adalah memasukkan sebanyak mungkin kata-kata ke dalam diri; sementara, menulis adalah mengeluarkan atau menampilkan pengalaman-batin lewat bantuan kata-kata.

“Mustahil menjalankan kegiatan menulis dengan enak dan lancar, tanpa didahului dengan kegiatan membaca. Sebaliknya, mustahil pula menjalankan kegiatan membaca secara sangat efektif apabila, usai membaca, tidak dilanjutkan dengan ‘mengikat’ (menuliskan) hal-hal penting yang diperoleh dari membaca. Membaca memerlukan menulis dan menulis memerlukan membaca.”

Ketika aku tergila-gila menjalankan program “mengikat makna” setiap hari, aku menemukan model-model baru pembelajaran yang disebut brain-based learning. Ajaib, aku pun kemudian ikut-ikutan mengonsep kegiatan membaca dan menulisku berbasiskan cara kerja otak. Aku menyebutnya brain-based writing. Setiap kali kusebut kata “writing”, pastilah yang kumaksud bukan hanya menulis, tetapi juga “reading”. Ingat, menulis perlu membaca dan membaca perlu menulis!

Rupanya, “mind mapping” (mengeluarkan apa pun yang kita simpan di dalam diri dengan menggunakan otak kanan dan otak kiri) telah membuatku semakin kreatif menulis. Aku menyelesaikan buku yang menjelaskan kehidupanku bersama anggota keluargaku, 7 Warisan Berharga, dalam tempo tak ada tiga bulan gara-gara metode temuan Tony Buzan tersebut. “Mind mapping”, atau dalam versi Dr. Gabriele Luser Rico disebut metode “clustering”, telah membangkitkan daya kreatifku dalam menulis secara dahsyat.

Bayangkan, sebelum berkenalan dengan metode “mind mapping”, aku dulu menjalankan kegiatan menulis hanya dengan satu belahan otak. Berkat “mind mapping”, aku kemudian secara sadar mampu menggunakan dua belahan otak dalam menulis. Metode “mind mapping” berhasil menyinergikan kekuatan otak kiri dan otak kanan. Tulisan-tulisanku menjadi sangat logis, tertata, dan urut, namun juga menyentuh, menggugah, dan menyala sangat terang.

Lewat menulis berbasiskan cara kerja otak, aku semakin menemukan manfaat-manfaat luar biasa dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Aku kemudian mengenal hasil riset seorang neurolog, Dr. Edward Coffey. Dr. Coffey menunjukkan kepadaku bahwa membaca sangat bermanfaat untuk memperkaya jaringan saraf otak. Mungkin bagi orang lain, ini hal biasa. Namun, bagiku, entah kenapa, hasil riset Dr. Coffey ini benar-benar membangkitkan motivasi membacaku.

Aku lantas terinspirasi untuk menulis Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Belakangan, setelah hampir dua tahun buku itu beredar, aku tergerak untuk menaikkan konsep yang kutulis di Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza ke tingkat yang lebih tinggi. Lahirlah kemudian buku dengan judul Vitamin T. Aku memang gemar menyamakan buku dengan makanan—makanan untuk ruhani. Apabila ada makanan yang bergizi, tentu ada buku yang bergizi. Lewat Vitamin T, aku mencoba membuktikannya.

Dalam eksplorasiku mencari manfaat membaca dan menulis, aku pun akhirnya tiba pada hasil riset seorang psikolog bernama Dr. James W. Pennebaker. Dia membukukan risetnya dalam buku yang sangat menggairahkanku. Judul buku itu Opening Up. Buku Dr. Pennebaker ini bercerita dengan enak dan lancar soal menulis yang dapat menyembuhkan depresi. Semula aku tak percaya. Namun, setelah aku mengikuti petunjuk-petunjuknya, aku merasakan manfaat menulis yang benar-benar membebaskan diriku.

Aku kemudian terbebas dari rasa kurang percaya diri. Aku juga merasakan kelegaan yang sangat luar biasa usai menulis. Aku juga menjadi leluasa untuk memulai dan mengakhiri menulis. Bahkan yang menurutku sangat hebat, metode “opening up”—demikian aku menyebut temuan Dr. Pennebaker—ini dapat mengalirkan “kotoran-kotoran” yang mengendap di batinku sekaligus juga memunculkan “mutiara-mutiara” yang berupa gagasan-gagasan brilianku.

Kegiatan membaca dan menulis semakin kujalankan secara gila-gilaan setelah aku bertemu dengan rumusan-rumusan ahli linguistik Dr. Stephen D. Krashen. Dr. Krashen meneliti kekuatan-dahsyat membaca. Hasil risetnya itu kemudian dibukukan dengan judul The Power of Reading. Menurut dia, orang-orang yang bisa menulis menyatakan bahwa mereka belajar menulis dari membaca.

Apabila riset-riset para pakar, tentang membaca dan menulis, itu aku gabungkan dengan hasil bacaanku tentang metode-metode baru pembelajaran, aku sadar bahwa kreativitas itu hanya dapat lahir apabila orang yang mau melahirkan daya kreatifnya itu berada dalam keadaan yang senang. Dalam bahasa kecerdasan emosi, orang itu harus berada dalam balutan emosi positif.

Untuk menjadi kreatif—memiliki banyak gagasan baru dan mudah mengalirkan gagasan baru itu dalam bentuk tulisan—aku harus berada dalam keadaan yang menyenangkan. Menyenangkan yang kumaksud di sini adalah suatu keadaan yang memungkinkan seseorang merasakan bangkitnya minat, meningkatnya keterlibatan dirinya dengan kegiatan yang sedang dijalani, terciptanya makna, dan hadirnya nilai yang membuat diri orang tersebut mengecap secercah kebahagiaan.

Di samping semua itu, aku juga masih ingat pesan J.K. Rowling—pencipta tokoh fiktif, Harry Potter—berkaitan dengan menulis. Rowling bilang kepadaku bahwa “jika kamu dapat menuliskan sesuatu dalam keadaan senang, tentulah para pembaca tulisanmu juga akan merasa senang ketika membaca tulisanmu”.[]

Senin, 09 November 2009

Resensi : 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur'an


Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, “begitulah sabda Nabi Muhammad SAW kepada sahabatnya yang ditulis kembali oleh Imam Bukhari. Nasihat itu berlaku buat umat Islam sepanjang zaman sampai akhir bumi dipijak, kiamat.

Belajar Al-Qur’an dalam rangka perbaikan diri, sedangkan mengajarkannya dalam rangka dakwah guna memperbaiki lingkungan masyarakat. Tentu saja, untuk belajar Al-Qur’an , ada tahap-tahapannya. Setelah mempelajari cara membacanya, hukum-hukumnya, dilanjutkan dengan menghafal, memahami makna, dan mengamalkannya. Buku yang ditulis H. Sa’dulloh al-Hafidz (Juara MHQ Internasional asal sumedang) ini memberikan tips-tips agar seseorang bisa dan mampu menghafal Al-Qur’an secara cepat dan benar.

Sekilas, jumlah ayat dalam Alquran cukup banyak, dan tidak mudah untuk menghapalnya. Namun faktanya sepanjang zaman selalu saja ada orang-orang yang hapal Alquran (menjadi hafidz). Bahkan, mereka yang menghapal Alquran itu tidak hanya orang dewasa, akan tetapi anak-anak pun banyak yang hapal Alquran. Imam besar, Imam Syafi’I, hapal Alquran sejak usia sembilan tahun, bahkan ada yang mengatakan dia hapal Alquran sejak usia tujuh tahun. Beberapa tahun yang lalu di iran ada seorang anak berumur 5 Tahun sudah hafal al-Qur’an, 2 tahun kemudian tepatnya bulan Februari 1998, anak kecil ini yang bernama Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i menerima ijazah Doktor Honoris Causa dalam bidang ”Science of The Retention of The Holy Quran”. Bahkan anak ini disebut-sebut sebagai mukjizat abad ke -20. Saat ini di Timur Tengah dan juga Indonesia, serta banyak Negara lainnya, banyak anak umur delapan, sembilan, atau 10 tahun yang sudah hapal beberapa juz, belasan juz, 20 juz bahkan 30 juz Alquran.

Sulitkah menghapal Alquran ?
Mungkin bisa dibilang ya, bisa juga dibilang tidak. Yang jelas, kalau Anda mempunyai keinginan kuat untuk menghapal Alquran, Anda sangat dianjurkan membaca buku ini. Buku yang ditulis oleh seorang hafizh dan sekaligus pembimbing tahfizh Alquran ini menguraikan sembilan cara mudah menghapal Alquran. Diantaranya, memahami makna ayat sebelum dihapal, mengulang-ulang membaca sebelum dihapal, mendengarkan bacaan orang yang lebih ahli, sering menulis ayat-ayat Alquran, dan memperhatikan ayat atau kalimat yang serupa. Penulis juga memberikan kita cara
menjaga hapalan Al Quran, baik yang belum hapal 30 juz maupun yang sudah hapal 30 juz.

Penulis mengakui, usaha untuk menghapal Alquran bukanlah hal yang mudah. Karena itu, dibutuhkan niat yang lurus dan ikhlas, konsentrasi penuh, serta keistiqamahan dalam menjalani prosesnya.

Minggu, 04 Oktober 2009

Enam pertanyaan penting Imam Ghazali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya: 1. Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ?
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman,dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "Mati" . Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.(Ali Imran : 185) Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. 2. Apa yang paling jauh dari kita di dunia ?
Murid-muridnya ada yang menjawab Negara China, bulan,matahari,dan bintang-bintang.Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "Masa Lalu" . Bagaimanapun kita, apa pun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama. Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ke tiga. 3. Apa yang paling besar di dunia ? Murid-muridnya ada yang menjawah gunung,bumi,dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu" (Al A'Raf: 179). Maka dengan itu kita harus hati-hati dengan nafsu kita, agar jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Pertanyaan ke empat adalah: 4. Apa yang paling berat di dunia ? Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawapan semua benar, kata Imam Ghozali. Tapi yang paling berat adalah "Memegang AMANAH" (Al Ahzab: 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung,dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) didunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka kerana ia tidak biasa memegang amanahnya. Pertanyaan yang ke lima adalah, 5. Apa yang paling ringan di dunia ? Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "Meninggalkan Shalat" . Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan solat, gara-gara meeting kita tinggalkan shalat. Lantas pertanyaan ke enam adalah, 6. Apa yang paling tajam di dunia ? Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling tajam adalah "Lidah Manusia" . Kerana melalui lidah, manusia dengan senangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Ketika Kiai Saling Nyantri


Adalah dua orang Kiai di Tanah Jawa yang sangat terkenal kealimannya pada awal abad ke-20, yaitu Kiai Cholil Bangkalan (wafat 1925) yang merupakan gurunya kiai setanah Jawa bahkan se Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah adalah di antara para muridnya. Selain itu ada Kiai Muhammad Dahlan Jampes Kediri, seorang waliyullah yang menjadi guru para Kiai sezamannya dan yang menurunkan seorang ulama besar yaitu Kiai Ihsan Jampes penulis beberapa kitab seperti Sirajut Thalibin dan Manahijul Imdad yang terkenal di seluruh dunia.

Sebagai seorang ulama, maka semakin tinggi ilmunya semakin tawadlu sikapnya, walaupun usianya sudah lanjut dan kealimannya diakui semua ulama, maka tidak ada halangan bagi Kiai Dahlan untuk nyantri pada Kiai Cholil di Bangkalan Madura. Meski telah belajar ke berbagai kiai terkemuka di seluruh pesantren di tanah Jawa, tetapi rasanya kurang lengkap bagi Kiai Dahlan kalau tidak berguru kepada kiai Cholil dan ingin diakui sebagai murid dari waliyullah ini.

Dengan meninggalkan pesantren dan santrinya berangkatlah Kiai Dahlan ke Bangkalan untuk nyantri kepada Kiai Cholil. Di sana diterima sebagai santri biasa, sehingga sempat menghuni pesantren itu beberapa bulan. Setelah beberapa bulan berlangsung Kiai Cholil berkata kepada Kiai Dahlan agar segera pulang, sebab semua ilmu yang dimiliki sudah habis sudah diajarkan semua. Sebagai ketaatan pada guru maka setelah memperoleh ijazah dari Kiai kharismatik tersebut maka pulanglah Kiai Dahlan ke Pesantrennya, kembali mengajar para santri.

Betapa kagetnya Kiai Dahlan selang beberapa bulan kemudian Kiai Cholil datang ke pesantren Jampes Kediri dengan niat untuk berguru menjadi santri Kiai Dahlan, sebab ada beberapa ilmu penting yang belum dikaji Kiai Cholil dan ilmu itu hanya dimiliki Kiai Dahlan.

Setelah terjadi perbincangan lama, maka diterimalah Kiai Cholil sebagai santri mengkaji beberapa disiplin keilmuan di bawah bimbingan Kiai Dahlan. Hubungan keduanya menjadi berbalik yang semula kiai Cholil menjadi guru sekarang diperlakukan sebagai muridnya. Sementara Kiai Dahlan menjadi gurunya dan bertindak sebagai guru.

Setelah beberapa bulan belajar di pesantren itu, maka Kiai Dahlan memangggil Kiai Cholil dan mengatakan bahwa saat ini jumlah santri baru yang mendaftar semakin banyak, sehingga kamar pondok tidak lagi mencukupi, karena itu Kiai Cholil dipersilahkan agar segera pulang biar kamarnya bisa untuk menampung santri baru. Setelah memproleh ijazah dari Kiai Dahlan, maka pulanglah Kiai Cholil Bangkalan ke Pesantrennya di Bangkalan.

Dalam tradisi pesantren mencari ilmu memang tidak ada batasnya, meski telah lanjut usia, meski telah berada di puncak ketenaran. Bagi para ulama ilmu bukanlah popularitas, tetapi sarana menuju ketakwaan. Ilmu yang tidak menambah ketakwaan hanyalah kehampaan, ilmu yang mendekatkan kepada Allah adalah ilmu yang benar-benar manfaat, migunani, karena itu akan terus dicari sepanjang hayat. (Abdul Mun’im DZ – Diceritakan Gus Irfan Masruhin, keluarga Kiai Ihsan Dahlan Jampes Kediri)

Jumat, 02 Oktober 2009

Segera Mengqadha Puasa yang punya utang

Qadha' atau mengganti puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah ayat 184:
أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain.

Ada dua pendapat mengenai wajib tidaknya qadha puasa dilakukan secara berurutan sebanyak hari yang ditinggalkan. Pertama, menyatakan jika hari puasa yang di¬tinggalkannya berurutan, maka qadha' harus dilaksanakan secara berurutan pula, lantaran qadha' merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan qadha' puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, lantaran tidak ada satu¬pun dalil yang menyatakan qadha' puasa harus berurutan. Sementara Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha' puasa, wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan, itu saja.

Pendapat kedua ini didukung oleh pernyataan dari sebuah hadits yang sharih (jelas dan tegas).

Sabda Rasulullah SAW:
قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

"Qadha' (puasa) Ramadhan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan. " (HR. Daruquthni, dari Ibnu 'Umar)

Dari kedua pendapat tersebut di atas, kami lebih cendong kepada pendapat terakhir, lantaran didukung oleh hadits yang sharih. Dengan demikian, qadha' puasa tidak wajib dilakukan secara berurutan. Namun dapat dilakukan dengan leluasa, kapan saja dikehendaki. Boleh secara berurutan, boleh juga secara terpisah.

Jika jumlah hari yang harus qadha' puasa itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang,sulit diketahui jumlah harinya, maka alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha' puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha' tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

Waktu Qadla

Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha' puasa Ramadhan sangat panjang yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya. Sebaiknya qadla puasa dilaksanakan dengan segera karena tidak mustahil jika ada orang-orang –dengan alasan tertentu– belum juga melaksanakan qadha' puasa Ramadhan, sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Kejadian seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada halangan, sering sakit misalnya, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya dan lain sebagainya. Sehingga pelaksanaan qadha' puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan benkutnya.

Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha' puasa Ra¬madhan sampai tiba Ramadhan berikutnya –tanpa halangan yang sah–, maka hukumnya haram dan berdosa. Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran udzur yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.

Adapun orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban qadha' puasa Ramadhan, sama artinya dengan mempunyai tunggakan hutang kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.

Hutang puasa Ramadhan tersebut bagi orang yang meninggaldapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah SAW:
مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)

Ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa; jika orang yang memiliki kewajiban qadha' puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya wajib melaksanakan qadha' puasa tersebut, sebagai gantinya. Dan tidak boleh dengan fidyah. Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha' puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah keluarganya.

Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf, dan tidak bisa dijadikan lancasan hukum.

KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Mas’ail PBNU
TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI