Minggu, 04 Oktober 2009

Enam pertanyaan penting Imam Ghazali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya: 1. Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ?
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman,dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "Mati" . Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.(Ali Imran : 185) Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. 2. Apa yang paling jauh dari kita di dunia ?
Murid-muridnya ada yang menjawab Negara China, bulan,matahari,dan bintang-bintang.Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "Masa Lalu" . Bagaimanapun kita, apa pun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama. Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ke tiga. 3. Apa yang paling besar di dunia ? Murid-muridnya ada yang menjawah gunung,bumi,dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu" (Al A'Raf: 179). Maka dengan itu kita harus hati-hati dengan nafsu kita, agar jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Pertanyaan ke empat adalah: 4. Apa yang paling berat di dunia ? Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawapan semua benar, kata Imam Ghozali. Tapi yang paling berat adalah "Memegang AMANAH" (Al Ahzab: 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung,dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) didunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka kerana ia tidak biasa memegang amanahnya. Pertanyaan yang ke lima adalah, 5. Apa yang paling ringan di dunia ? Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "Meninggalkan Shalat" . Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan solat, gara-gara meeting kita tinggalkan shalat. Lantas pertanyaan ke enam adalah, 6. Apa yang paling tajam di dunia ? Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling tajam adalah "Lidah Manusia" . Kerana melalui lidah, manusia dengan senangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Ketika Kiai Saling Nyantri


Adalah dua orang Kiai di Tanah Jawa yang sangat terkenal kealimannya pada awal abad ke-20, yaitu Kiai Cholil Bangkalan (wafat 1925) yang merupakan gurunya kiai setanah Jawa bahkan se Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah adalah di antara para muridnya. Selain itu ada Kiai Muhammad Dahlan Jampes Kediri, seorang waliyullah yang menjadi guru para Kiai sezamannya dan yang menurunkan seorang ulama besar yaitu Kiai Ihsan Jampes penulis beberapa kitab seperti Sirajut Thalibin dan Manahijul Imdad yang terkenal di seluruh dunia.

Sebagai seorang ulama, maka semakin tinggi ilmunya semakin tawadlu sikapnya, walaupun usianya sudah lanjut dan kealimannya diakui semua ulama, maka tidak ada halangan bagi Kiai Dahlan untuk nyantri pada Kiai Cholil di Bangkalan Madura. Meski telah belajar ke berbagai kiai terkemuka di seluruh pesantren di tanah Jawa, tetapi rasanya kurang lengkap bagi Kiai Dahlan kalau tidak berguru kepada kiai Cholil dan ingin diakui sebagai murid dari waliyullah ini.

Dengan meninggalkan pesantren dan santrinya berangkatlah Kiai Dahlan ke Bangkalan untuk nyantri kepada Kiai Cholil. Di sana diterima sebagai santri biasa, sehingga sempat menghuni pesantren itu beberapa bulan. Setelah beberapa bulan berlangsung Kiai Cholil berkata kepada Kiai Dahlan agar segera pulang, sebab semua ilmu yang dimiliki sudah habis sudah diajarkan semua. Sebagai ketaatan pada guru maka setelah memperoleh ijazah dari Kiai kharismatik tersebut maka pulanglah Kiai Dahlan ke Pesantrennya, kembali mengajar para santri.

Betapa kagetnya Kiai Dahlan selang beberapa bulan kemudian Kiai Cholil datang ke pesantren Jampes Kediri dengan niat untuk berguru menjadi santri Kiai Dahlan, sebab ada beberapa ilmu penting yang belum dikaji Kiai Cholil dan ilmu itu hanya dimiliki Kiai Dahlan.

Setelah terjadi perbincangan lama, maka diterimalah Kiai Cholil sebagai santri mengkaji beberapa disiplin keilmuan di bawah bimbingan Kiai Dahlan. Hubungan keduanya menjadi berbalik yang semula kiai Cholil menjadi guru sekarang diperlakukan sebagai muridnya. Sementara Kiai Dahlan menjadi gurunya dan bertindak sebagai guru.

Setelah beberapa bulan belajar di pesantren itu, maka Kiai Dahlan memangggil Kiai Cholil dan mengatakan bahwa saat ini jumlah santri baru yang mendaftar semakin banyak, sehingga kamar pondok tidak lagi mencukupi, karena itu Kiai Cholil dipersilahkan agar segera pulang biar kamarnya bisa untuk menampung santri baru. Setelah memproleh ijazah dari Kiai Dahlan, maka pulanglah Kiai Cholil Bangkalan ke Pesantrennya di Bangkalan.

Dalam tradisi pesantren mencari ilmu memang tidak ada batasnya, meski telah lanjut usia, meski telah berada di puncak ketenaran. Bagi para ulama ilmu bukanlah popularitas, tetapi sarana menuju ketakwaan. Ilmu yang tidak menambah ketakwaan hanyalah kehampaan, ilmu yang mendekatkan kepada Allah adalah ilmu yang benar-benar manfaat, migunani, karena itu akan terus dicari sepanjang hayat. (Abdul Mun’im DZ – Diceritakan Gus Irfan Masruhin, keluarga Kiai Ihsan Dahlan Jampes Kediri)

Jumat, 02 Oktober 2009

Segera Mengqadha Puasa yang punya utang

Qadha' atau mengganti puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah ayat 184:
أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain.

Ada dua pendapat mengenai wajib tidaknya qadha puasa dilakukan secara berurutan sebanyak hari yang ditinggalkan. Pertama, menyatakan jika hari puasa yang di¬tinggalkannya berurutan, maka qadha' harus dilaksanakan secara berurutan pula, lantaran qadha' merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan qadha' puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, lantaran tidak ada satu¬pun dalil yang menyatakan qadha' puasa harus berurutan. Sementara Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha' puasa, wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan, itu saja.

Pendapat kedua ini didukung oleh pernyataan dari sebuah hadits yang sharih (jelas dan tegas).

Sabda Rasulullah SAW:
قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

"Qadha' (puasa) Ramadhan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan. " (HR. Daruquthni, dari Ibnu 'Umar)

Dari kedua pendapat tersebut di atas, kami lebih cendong kepada pendapat terakhir, lantaran didukung oleh hadits yang sharih. Dengan demikian, qadha' puasa tidak wajib dilakukan secara berurutan. Namun dapat dilakukan dengan leluasa, kapan saja dikehendaki. Boleh secara berurutan, boleh juga secara terpisah.

Jika jumlah hari yang harus qadha' puasa itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang,sulit diketahui jumlah harinya, maka alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha' puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha' tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

Waktu Qadla

Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha' puasa Ramadhan sangat panjang yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya. Sebaiknya qadla puasa dilaksanakan dengan segera karena tidak mustahil jika ada orang-orang –dengan alasan tertentu– belum juga melaksanakan qadha' puasa Ramadhan, sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Kejadian seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada halangan, sering sakit misalnya, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya dan lain sebagainya. Sehingga pelaksanaan qadha' puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan benkutnya.

Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha' puasa Ra¬madhan sampai tiba Ramadhan berikutnya –tanpa halangan yang sah–, maka hukumnya haram dan berdosa. Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran udzur yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.

Adapun orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban qadha' puasa Ramadhan, sama artinya dengan mempunyai tunggakan hutang kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.

Hutang puasa Ramadhan tersebut bagi orang yang meninggaldapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah SAW:
مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)

Ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa; jika orang yang memiliki kewajiban qadha' puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya wajib melaksanakan qadha' puasa tersebut, sebagai gantinya. Dan tidak boleh dengan fidyah. Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha' puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah keluarganya.

Sabda Rasulullah SAW:
مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf, dan tidak bisa dijadikan lancasan hukum.

KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Mas’ail PBNU
TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI