Selasa, 24 November 2009

Pelatihan yang mencerahkan


PT Telekomunikasi Indonesia bekerjasama dengan Harian Umum Republika menggelar program CSR Pendidikan bagi para guru. Kegiatan yang bertema ‘Bagimu Guru Kupersembahkan’ itu digelar di Pusdiklat Telkom Jln. Geger Kalong Hilir No.47 Bandung, Kamis-Jum’at (19-20 November 2009).Kegiatan ini diikuti 65 orang guru, baik tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) di wilayah Bandung dan sekitarnya.
Dan Alhamdulillah penulis termasuk peserta pada kegiatan ini, yang sebelumnya tidak pernah menyangka akan diikutsertakan. Setelah mengikuti pelatihan ini seperti mendapat pencerahan. Semua narasumber yang menyampaikan materi, seperti telah membuka mata-hati saya agar dalam menjalankan tugas sebagai guru, bisa menjadi lebih baik.
Hari pertama, dibuka oleh Gubernur Jawa Barat H.Ahmad Heryawan, sekaligus mengisi materi tentang motivasi. Beliau menegaskan, guru merupakan profesi yang sangat signifikan dalam menyelamatkan bangsa. Kata dia, motivasi kepada guru sangat dibutuhkan. Pasalnya, seorang guru tidak cukup hanya berperan sebagai penyampai mata pelajaran. Guru harus bisa mencetak siswa yang berkualitas, baik ilmu maupun moralnya
Pemateri kedua diisi oleh Irfan Junaedi , dengan materi penulisan popular. Pemaparan beliau pada sesi ini sangat menarik sekali, mungkin Karena kedalaman ilmu beliau dalam hal penulisan. Kata beliau setelah diklat ini usai , mulailah untuk menulis. Usahakan dalam satu hari kita punya sepenggal waktu untuk menuangkan pikiran dalam tulisan. Rasakan manfaatnya. Saya berkeyakinan kuat, jika kebiasaan membuat tulisan harian ini berjalan baik, kemampuan kita dalam menulis secara alami bakal melejit.
Doel Sumbang, mengisi bagian materi ketiga yaitu proses kreatif. Penyanyi terkenal ini menceritakan proses masa mudanya yang penuh tantangan untuk bisa seperti sekarang ini. Kang doel tak menyadari bahwa sampai tahun sekarang telah menciptakan lebih dari seribu judul lagu. Dan proses pembuatan lagu tercepat yang beliau selesaikan adalah lagu ‘kalau bulan bisa ngomong’ kurang dari 20 menit.
Pada hari kedua materinya antara lain Trend IT, Sistem Informasi Administrasi Pendidikan, Kepribadian Menarik dan Komunikasi efektif. Praktisi Leila Mona Ganiem mengisi materi kepribadian menarik memberikan pengetahuan tentang bagaimana seorang guru harus bersikap di depan murid-muridnya dan bagaimana cara proses belajar-mengajar yang efektif di dalam kelas.Sedangkan untuk materi komunikasi efektif disampaikan oleh Farhan. Pengasuh Om Farhan Antv ini, mengisi materi terakhir pelatihan ini. Dalam penyampaiannya penuh dengan cerita-cerita yang menghibur. Farhan mengatakan bahwa komunikasi akan efektif kalau didasari oleh keterbukaan dengan tanpa prasangka.

Senin, 16 November 2009

Segenggam Garam

Disebuah desa tinggallah seorang kakek yang bijaksana dan tempat bertanya masyarakat sekitar, kadang diminta memimpin do’a kalau ada acara-acara tertentu. Pada suatu hari, ada seorang pemuda bertamu yang sedang ditimpa masalah, tangannya selalu dikepalkan dan meninjunya setiap ada benda didekatnya.
Tanpa berlama-lama anak muda ini menceritakan semua problem yang menimpanya, sang kakek hanya manggut-manggut dan mendengarkan dengan khusyu’. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Kakek itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Kakek itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Kakek Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Sang kakek berkata lagi,
"Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya kakek lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.
Dengan bijak, Kakek itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.
"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Kakek Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya
menjadi kesegaran dan kebahagiaan."

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan sang kakek si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa..

Kamis, 12 November 2009

Menulis untuk membebaskan

Oleh Hernowo
Anda harus menulis dan menyingkirkan sekian banyak ‘materi sampah’ sebelum Anda akhirnya merasakan suasana yang nyaman.
-- RAY BRADBURY

Aku tak ingin disiksa oleh buku. Aku juga tak mau jika kegiatan menulisku membebaniku. Aku ingin sekali, ketika membaca dan menulis, seluruh diriku merasakan kebebasan—katakanlah, dalam bahasa yang lebih melayang, “merasakan kebahagiaan”. Aku baru merasakan bahwa membaca itu menyenangkan dan menulis itu menyembuhkan ketika usiaku melewati empat puluh tahun.

Sedari kecil, aku tak punya cita-cita menjadi penulis. Aku juga bukan keturunan keluarga penulis. Tak ada setetes-darah-penulis pun yang mengalir di tubuhku.

Ayahku berasal dari Blora, ibuku dari Magelang. Pekerjaan terakhir ayahku adalah pegawai kantor pajak. Ibuku, seperti istri kebanyakan, adalah ibu rumah tangga.

Agak sulit menjelaskan kenapa aku kini, tiba-tiba, menjadi penulis. Hingga pertengahan 2005, aku sudah menulis 24 buku. Dari ke-24 bukuku itu, 17 buku kuselesaikan dalam waktu 3 tahun! Buku-buku yang kutulis, sebagian besar, berfokus pada dua hal: tentang pengalamanku menjalankan kegiatan baca-tulis dan bagaimana aku menerapkan metode-metode baru kegiatan belajar-mengajar yang menyenangkan dan memberdayakan.

Buku pertamaku, Mengikat Makna, lahir ketika usiaku 44 tahun. Buku pertamaku itu kuterbitkan tepat di hari kelahiranku, 12 Juli 2001. Buku ini berisi tentang paradigma baru membaca dan menulis yang kualami ketika aku bekerja di sebuah penerbitan buku. Dari perumusan konsep “mengikat makna” inilah rupanya proses kreatifku sebagai seorang penulis bermula.

“Mengikat makna” adalah kegiatan sangat penting dalam hidupku setelah aku berusia 44 tahun. Hari-hariku, rasa-rasanya, tak pernah kosong dari kegiatan “mengikat makna”. Aku semakin “rakus” membaca dan bergairah mengeluarkan apa pun, yang aku dapat dari membaca, berkat “mengikat makna”. “Mengikat makna” memang sebuah program yang memadukan kegiatan membaca dan menulis secara bersamaan.

Berulang kali mantra “mengikat makna” kusemprotkan kepada siapa saja yang punya keinginan membaca dan menulis secara menyenangkan dan memberdayakan. Mantra itu, kira-kira, bunyinya seperti ini: “Membaca adalah memasukkan sebanyak mungkin kata-kata ke dalam diri; sementara, menulis adalah mengeluarkan atau menampilkan pengalaman-batin lewat bantuan kata-kata.

“Mustahil menjalankan kegiatan menulis dengan enak dan lancar, tanpa didahului dengan kegiatan membaca. Sebaliknya, mustahil pula menjalankan kegiatan membaca secara sangat efektif apabila, usai membaca, tidak dilanjutkan dengan ‘mengikat’ (menuliskan) hal-hal penting yang diperoleh dari membaca. Membaca memerlukan menulis dan menulis memerlukan membaca.”

Ketika aku tergila-gila menjalankan program “mengikat makna” setiap hari, aku menemukan model-model baru pembelajaran yang disebut brain-based learning. Ajaib, aku pun kemudian ikut-ikutan mengonsep kegiatan membaca dan menulisku berbasiskan cara kerja otak. Aku menyebutnya brain-based writing. Setiap kali kusebut kata “writing”, pastilah yang kumaksud bukan hanya menulis, tetapi juga “reading”. Ingat, menulis perlu membaca dan membaca perlu menulis!

Rupanya, “mind mapping” (mengeluarkan apa pun yang kita simpan di dalam diri dengan menggunakan otak kanan dan otak kiri) telah membuatku semakin kreatif menulis. Aku menyelesaikan buku yang menjelaskan kehidupanku bersama anggota keluargaku, 7 Warisan Berharga, dalam tempo tak ada tiga bulan gara-gara metode temuan Tony Buzan tersebut. “Mind mapping”, atau dalam versi Dr. Gabriele Luser Rico disebut metode “clustering”, telah membangkitkan daya kreatifku dalam menulis secara dahsyat.

Bayangkan, sebelum berkenalan dengan metode “mind mapping”, aku dulu menjalankan kegiatan menulis hanya dengan satu belahan otak. Berkat “mind mapping”, aku kemudian secara sadar mampu menggunakan dua belahan otak dalam menulis. Metode “mind mapping” berhasil menyinergikan kekuatan otak kiri dan otak kanan. Tulisan-tulisanku menjadi sangat logis, tertata, dan urut, namun juga menyentuh, menggugah, dan menyala sangat terang.

Lewat menulis berbasiskan cara kerja otak, aku semakin menemukan manfaat-manfaat luar biasa dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Aku kemudian mengenal hasil riset seorang neurolog, Dr. Edward Coffey. Dr. Coffey menunjukkan kepadaku bahwa membaca sangat bermanfaat untuk memperkaya jaringan saraf otak. Mungkin bagi orang lain, ini hal biasa. Namun, bagiku, entah kenapa, hasil riset Dr. Coffey ini benar-benar membangkitkan motivasi membacaku.

Aku lantas terinspirasi untuk menulis Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Belakangan, setelah hampir dua tahun buku itu beredar, aku tergerak untuk menaikkan konsep yang kutulis di Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza ke tingkat yang lebih tinggi. Lahirlah kemudian buku dengan judul Vitamin T. Aku memang gemar menyamakan buku dengan makanan—makanan untuk ruhani. Apabila ada makanan yang bergizi, tentu ada buku yang bergizi. Lewat Vitamin T, aku mencoba membuktikannya.

Dalam eksplorasiku mencari manfaat membaca dan menulis, aku pun akhirnya tiba pada hasil riset seorang psikolog bernama Dr. James W. Pennebaker. Dia membukukan risetnya dalam buku yang sangat menggairahkanku. Judul buku itu Opening Up. Buku Dr. Pennebaker ini bercerita dengan enak dan lancar soal menulis yang dapat menyembuhkan depresi. Semula aku tak percaya. Namun, setelah aku mengikuti petunjuk-petunjuknya, aku merasakan manfaat menulis yang benar-benar membebaskan diriku.

Aku kemudian terbebas dari rasa kurang percaya diri. Aku juga merasakan kelegaan yang sangat luar biasa usai menulis. Aku juga menjadi leluasa untuk memulai dan mengakhiri menulis. Bahkan yang menurutku sangat hebat, metode “opening up”—demikian aku menyebut temuan Dr. Pennebaker—ini dapat mengalirkan “kotoran-kotoran” yang mengendap di batinku sekaligus juga memunculkan “mutiara-mutiara” yang berupa gagasan-gagasan brilianku.

Kegiatan membaca dan menulis semakin kujalankan secara gila-gilaan setelah aku bertemu dengan rumusan-rumusan ahli linguistik Dr. Stephen D. Krashen. Dr. Krashen meneliti kekuatan-dahsyat membaca. Hasil risetnya itu kemudian dibukukan dengan judul The Power of Reading. Menurut dia, orang-orang yang bisa menulis menyatakan bahwa mereka belajar menulis dari membaca.

Apabila riset-riset para pakar, tentang membaca dan menulis, itu aku gabungkan dengan hasil bacaanku tentang metode-metode baru pembelajaran, aku sadar bahwa kreativitas itu hanya dapat lahir apabila orang yang mau melahirkan daya kreatifnya itu berada dalam keadaan yang senang. Dalam bahasa kecerdasan emosi, orang itu harus berada dalam balutan emosi positif.

Untuk menjadi kreatif—memiliki banyak gagasan baru dan mudah mengalirkan gagasan baru itu dalam bentuk tulisan—aku harus berada dalam keadaan yang menyenangkan. Menyenangkan yang kumaksud di sini adalah suatu keadaan yang memungkinkan seseorang merasakan bangkitnya minat, meningkatnya keterlibatan dirinya dengan kegiatan yang sedang dijalani, terciptanya makna, dan hadirnya nilai yang membuat diri orang tersebut mengecap secercah kebahagiaan.

Di samping semua itu, aku juga masih ingat pesan J.K. Rowling—pencipta tokoh fiktif, Harry Potter—berkaitan dengan menulis. Rowling bilang kepadaku bahwa “jika kamu dapat menuliskan sesuatu dalam keadaan senang, tentulah para pembaca tulisanmu juga akan merasa senang ketika membaca tulisanmu”.[]

Senin, 09 November 2009

Resensi : 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur'an


Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, “begitulah sabda Nabi Muhammad SAW kepada sahabatnya yang ditulis kembali oleh Imam Bukhari. Nasihat itu berlaku buat umat Islam sepanjang zaman sampai akhir bumi dipijak, kiamat.

Belajar Al-Qur’an dalam rangka perbaikan diri, sedangkan mengajarkannya dalam rangka dakwah guna memperbaiki lingkungan masyarakat. Tentu saja, untuk belajar Al-Qur’an , ada tahap-tahapannya. Setelah mempelajari cara membacanya, hukum-hukumnya, dilanjutkan dengan menghafal, memahami makna, dan mengamalkannya. Buku yang ditulis H. Sa’dulloh al-Hafidz (Juara MHQ Internasional asal sumedang) ini memberikan tips-tips agar seseorang bisa dan mampu menghafal Al-Qur’an secara cepat dan benar.

Sekilas, jumlah ayat dalam Alquran cukup banyak, dan tidak mudah untuk menghapalnya. Namun faktanya sepanjang zaman selalu saja ada orang-orang yang hapal Alquran (menjadi hafidz). Bahkan, mereka yang menghapal Alquran itu tidak hanya orang dewasa, akan tetapi anak-anak pun banyak yang hapal Alquran. Imam besar, Imam Syafi’I, hapal Alquran sejak usia sembilan tahun, bahkan ada yang mengatakan dia hapal Alquran sejak usia tujuh tahun. Beberapa tahun yang lalu di iran ada seorang anak berumur 5 Tahun sudah hafal al-Qur’an, 2 tahun kemudian tepatnya bulan Februari 1998, anak kecil ini yang bernama Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i menerima ijazah Doktor Honoris Causa dalam bidang ”Science of The Retention of The Holy Quran”. Bahkan anak ini disebut-sebut sebagai mukjizat abad ke -20. Saat ini di Timur Tengah dan juga Indonesia, serta banyak Negara lainnya, banyak anak umur delapan, sembilan, atau 10 tahun yang sudah hapal beberapa juz, belasan juz, 20 juz bahkan 30 juz Alquran.

Sulitkah menghapal Alquran ?
Mungkin bisa dibilang ya, bisa juga dibilang tidak. Yang jelas, kalau Anda mempunyai keinginan kuat untuk menghapal Alquran, Anda sangat dianjurkan membaca buku ini. Buku yang ditulis oleh seorang hafizh dan sekaligus pembimbing tahfizh Alquran ini menguraikan sembilan cara mudah menghapal Alquran. Diantaranya, memahami makna ayat sebelum dihapal, mengulang-ulang membaca sebelum dihapal, mendengarkan bacaan orang yang lebih ahli, sering menulis ayat-ayat Alquran, dan memperhatikan ayat atau kalimat yang serupa. Penulis juga memberikan kita cara
menjaga hapalan Al Quran, baik yang belum hapal 30 juz maupun yang sudah hapal 30 juz.

Penulis mengakui, usaha untuk menghapal Alquran bukanlah hal yang mudah. Karena itu, dibutuhkan niat yang lurus dan ikhlas, konsentrasi penuh, serta keistiqamahan dalam menjalani prosesnya.
TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI