Senin, 28 Desember 2009

Mengenang Almarhum KHR. Totoh Abdul Fatah


Pak Totoh (demikian panggilan akrab untuk KHR. Totoh Abdul Fatah) dilahirkan pada tanggal 31 Agustus 1931 di Balonggede, Sebelah selatan Masjid Agung Bandung. “Ayah saya seorang kiai asal Limbangan Garut, yang kemudian menjadi ambtenar. Beliau bekerja di Departemen Agama. Ibu saya pun seorang guru agama di SLTA, serta pernah pula mengajar mengaji di lingkungan tentara.” ungkap beliau kepada penulis beberapa tahun yang lalu.
Pak Kiai yang lahir dari pasangan Hj. R. Siti Rahmah dan KHR. Achmad Badruddin ini, di samping sekolah di HIS Budi Harti, Garut, juga mondok di pesantren. Beliau adalah alumni Pesantren Situgede Monggor Limbangan Garut, lalu Pesantren Cikelepu Limbangan Garut, kemudian Pesantren Karangsari Leles Garut, tahun 1951. Setelah itu, belajar ke Pesantren Sindangsari (sekarang ada tambahan Al-Jawami) yang terletak di Cileunyi. Di Pesantren ini pula Pak Totoh mendapat jodoh. Ia menikah dengan putri gurunya Mama Kiai Sudja’i, bernama Hj. Siti Maryam.
“Di pesantren ini, saya dulu jadi lurah santri. Saya selalu mendampingi Mama Kiai Sudja’i, sampai akhirnya alhamdulillah, saya jadi menantunya,” kenang almarhum.
Pak Totoh melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum. Setelah tamat dari Aliyah, lalu melanjutkan ke Universitas Islam Nusantara (UNINUS), kemudian ke IKIP Bandung dan akhirnya ke Institut Dakwah Islam (IDI) Bandung.
Pada Tahun 1958, Pak Totoh bekerjasama dengan Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat (Sekarang Panglima KODAM III Siliwangi) Kolonel RA. Kosasih dan Letkol H. Mashudi dalam rangka mengorganisir alim ulama sebagai tenaga pendidik dan tokoh yang berpengaruh di kalangan masyarakat maka dibentuklah Majelis Ulama, berdasarkan hasil kesepakatan pada waktu itu diputuskan sebagai Pelindung Dewan Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat, Ketua Umum Majelis Ulama yaitu Ajengan HM. Sudja’i (Mama Pst. Cileunyi), Ketua I Ajengan H. Sayyid Utsman (Pst. Assalam Bandung), Ketua II H.R. Sutalaksana (Kepala Penerangan Agama), Ketua III HM. Soefri Djamhari (Unsur TNI), Sekertaris Umum A. Zainuddin (Tentara Opris TT.III), Sekertaris I Ust. Totoh Abdul Fatah (Guru Pst. Cileunyi), Sekertaris II Ahmad Jazuli (Peg. Kependap Jabar), Bendahara I Ajengan H. Abdul Malik (Pst. Garut), Bendahara II Ajengan HM. Burhan (Pst. Cijawura Bandung).
Dengan dibentuknya Majelis Ulama pada tahun 1958 ini, akhirnya menjadi cikal bakal dibentuknya MUI tingkat pusat pada tahun 1975, beliau sendiri keterlibatannya di Majelis Ulama ini pada Tahun 1985 akhirnya menjadi Ketua Umum MUI Jawa Barat setelah menggantikan Dr. K.H. E. Zaenal Muttaqien yang wafat setelah mengalami kecelakaan lalu lintas di sekitar Nagreg Bandung.
Pada Tahun 1977, Pondok Pesantren Sindangsari diganti dengan nama Pondok Pesantren Al-Jawami. Nama Al-Jawami memiliki arti lengkap atau universal. Nama ini diambil dari nama sebuah kitab yang disenangi guru beliau Mama Kiai Sudja’i, yaitu Kitab Ushul Fiqih “Jam’ul Jawami”.
Semenjak Mama Kiai Sudja’i meninggal dunia, tahun 1987, Pak Kiai Totoh menjadi sesepuh di Pesantren Al-Jawami. “Pengelolaan pendidikan disini tidak hanya berada pada satu tangan saja. Selain saya, beberapa orang saudara ipar saya punya tugas dan tanggung jawab masing-masing, kepemimpinan disini lebih bersifat kolektif” ia menjelaskan.
Yang diwariskan Mama Kiai Sudja’i bukan saja jabatan sesepuh pesantren, Pak Totoh juga mendapat kepercayaan sebagai pengajar yang mesti membahas kitab Jam’ul Jawami’ karangan Syaikh Tajuddin Ibnu as-Subki. Selain itu, setiap hari kamis pagi ia punya kewajiban mengajar kepada para ulama yang datang dari berbagai daerah di seputar bandung timur, juga pengajian kamisan yang diikuti ribuan ibu-ibu yang kini diasuh oleh adik ipar beliau KH. Imang Abdul Hamid Sofandi (Putra bungsu Mama Sudja'i).
Pak Totoh pernah menjadi Guru Agama SLTA (1968), Penghulu Kotamadya Bandung (1969-1973), Kepala Kandepag Kota Bandung (1975-1980), Kepala Bidang Penerangan Agama Islam Kanwil Depag Jabar (1980-1982), Hakim Tinggi Agama/ Wakil Ketua PTA untuk Wilayah Jabar dan DKI Jakarta (1982-1985), Penatar BP7 Jawa Barat (1982-1985), Staf Ahli BAPPEDA Jabar (1982-1985), Dosen Hukum Islam APDN Bandung (1982-1985), Na’ib Amirul Hajj (1992), Anggota MPR RI dari FKP No.C.727 (1992-1999).
Dalam keorganisasian, pernah menjadi Lurah Santri (1951-1955), Sekertaris Majelis Ulama (1958-1969), Pembina Rohani di Lingkungan TNI dan kepolisian Negara Bandung Timur (1969-1974), Ketua Sekber Golkar Kandepag Kodya Bandung (1969-1974), Rais Syuriah NU Kecamatan Cibeunying (1970), Ketua DKM Masjid Agung Bandung (1973-1980), Ketua Al-Washliyah Jawa Barat (1975), Ketua Korpri Unit Kandepag Kodya Bandung (1974-1980), Pendiri Islamic Centre/ Pusdai Jabar (1988), Pendiri RS. Islam Al-Ihsan (1992), Ketua Korpri Unit PTA Jabar (1988-1990), Dewan Penasehat DHD ’45 Jawa Barat (1989 -1990), Ketua Umum DMI Jabar (1983-1993), Dewan Pertimbangan MUI Pusat (1990-2000), Dewan Pembina DMI Pusat (1993-2000), Wakil Ketua Ikatan Purnabhakti Hakim Agama Nasional (1992-1997), Wakil Ketua Panwaslu (Panitia Pengawas pemilihan Umum) Jawa Barat pada Pemilu 1999, Ketua Umum MUI Jabar (1985-2000), Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah (2000-2005), Ketua Dewan Penasehat MUI Jabar (2005-2008).
Almarhum termasuk salah satu tim pemrakarsa pembuatan Al-Qur’an Mushaf Sundawi, mushaf kebanggaan rakyat Jawa Barat yang peresmiannya pada tanggal 14 Agustus 1995 bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1416 H oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Bapak H.R. Nuriana.
Pak Kiai dikenal juga sebagai penulis yang banyak mencurahkan minatnya terhadap masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan hukum-hukum Islam. Karya-karyanya yang telah terbit dan beredar, antara lain: (1) Jembatan Dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan, (2) Batasan Mulai Usia Perkawinan, (3) Politik Dakwah (Dakwah Melalui Jalur Politik), (4) Bank tidak Identik dengan Riba, (5) Pokok-pokok Syariat Islam, (6) Istinbatil Hukmi, (7) Rumah Tangga Sakinah, (8) MUI Menggagas Perwujudan dan Pelaksanaan Reformasi, (9) Ayat-ayat Hiriz dan Ayat-ayat Rizki dalam Do’a, (10) Asmaul Husna dan Asmaur Rasul, (11) Al-Jawami dalam membahas Jam’ul Jawami’.
Masih teringat, ketika menjelaskan kitab Jam’ul Jawami’ yang sulit difahami bagi kami setelah disampaikan beliau begitu mudah dicerna, hal ini mungkin karena kedalaman ilmu, kesalehan dan penyampaiannya yang diselingi dengan humor-humor segarnya.
Kemampuan beliau dalam menyampaikan pengajaran, memberikan nasihat, bimbingan dan bantuan pemecahan masalah pendidikan sampai kepada kesulitan masalah keluarga ikut mengangkat beliau sebagai seorang penasihat yang baik dan banyak berhasil. Demikian pula banyak masyarakat yang tertarik bila beliau berceramah, karena gaya dan caranya yang lembut, santai dan bijak penuh pesona.
Disaat sangat diperlukan penterjemah antara ulama/ umat beragama dengan pemerintah, beliau menunjukan sebagai penterjemah yang baik, dengan kecakapan beliau menempatkan diri sebagai penterjemah gagasan-gagasan pembangunan nasional maupun daerah, juga mampu memberikan motivasi dengan bahasa agama yang baik dan benar, sehingga menghilangkan keraguan masyarakat.
Beliau adalah salah seorang profil ulama yang ka bala ka bale (bisa bergaul dengan kelompok masyarakat apa saja). Ia tidak saja dikenal di lingkungan santri, namun juga di kalangan birokrat.
“Saya berpendapat, kegiatan dakwah itu bisa dilaksanakan tidak hanya billisan dan bilhal saja, namun juga melalui jalur politik,” tutur Pak Totoh. Dijelaskan lebih jauh, dakwah melalui jalur politik bisa diartikan mendampingi orang yang punya kekuasaan atau wewenang. Ini lebih praktis, leluasa, dan mengikat.
Dakwah di jalur politik bisa bermakna juga dakwah melalui tangan umaro. Menurut Pak Totoh, hal ini sangat efektif. Dakwah dijalur ini bisa berjalan lancar jika ada pendekatan antara infra dengan supra struktur. Dari pendekatan tersebut akan lahir gagasan-gagasan yang menguntungkan kehidupan beragama.
Mengenai kondisi sekarang ini, Pa Totoh berpendapat, pada masa kini umat Islam mesti punya filter, untuk menyaring berbagai dampak negatif dari dunia luar. “Keberadaan masjid, pesantren, dan rumah tangga sakinah adalah filter. Sebut saja, filter globalisasi,” tegas almarhum.
Khusus tentang ciri-ciri rumah tangga sakinah, Pak Totoh merincinya menjadi tiga unsur, yaitu bebas dari kekufuran, bebas dari kefakiran dan bebas dari kebodohan. Hal ini mesti diusahakan tercipta pada setiap kehidupan rumah tangga.
Dalam rumah tangga sakinah disamping terdengar deburan air mandi, harus terdengar pula percikan air wudlu untuk bersuci. Di samping terdengar nyanyian merdu, harus terdengar pula alunan kalam ilahi nan syahdu. Di samping terhampar permadani yang indah, harus terdapat pula hamparan sajadah. Tanda bukti kita taat beragama. Sebab hidup tanpa agama, akan sasar (sesat). Tanpa ilmu, akan kesasar. Tanpa seni, kasar.
“Walau bagaimanapun, globalisasi yang sekarang ramai diperbincangkan ini akan membawa dampak negatif. Kita ikut arus globalisasi bukan untuk mencari kejelekan. Ibaratnya petani yang tanam padi, maka di sawahnya itu dengan sendirinya akan tumbuh ilalang. Sedangkan kalau ia tanam ilalang, maka padi tidak akan ikut tumbuh,” ungkapnya.
Kesetiaan Pak Totoh untuk mengabdi kepada tugas dan ketekunannya sebagai pendidik, sangat diakui oleh banyak orang dan kalangan, sebagaimana yang telah dibuktikan dengan didirikannya pendidikan formal, dibawah naungan Yayasan Pembina Pendidikan Tinggi (YAPATA) Al-Jawami yaitu Madrasah Aliyah (1977), Sekolah Tinggi Bahasa Asing (1989), Sekolah Tinggi Agama Islam (1999), Taman Kanak-kanak (2000) di lingkungan Pontren Al-jawami, yang sekarang di asuh oleh putera keempatnya, DR. H. Deding Ishak Ibnu Sudja’, SH.,MM.
Pak Totoh berpulang ke Rahmatullah (wafat) pada hari Senin, 01 September 2008 M (01 Ramadhan 1429 H) Pukul 10.17 WIB di RS. Hasan Sadikin Bandung setelah lebih kurang 15 hari dirawat di Ruang Perawatan Khusus (ICU) dan di makamkan di TPU Cileunyi Wetan Bandung pukul 16.00 WIB.
Dengan suara lirih, Bu Hj. Siti Maryam, sempat mengungkapkan tentang suka dukanya bersama almarhum, terutama sebagai pendampingnya, yang merasakan dan mengalami langsung, bagaimana memberikan dorongan kepada suami untuk meneruskan pendidikan, menambah pengetahuan, mencapai karir, dan sekaligus menjadi Bapak dari anak-anak.
Pak Totoh sebagai Bapak, pemimpin, pendidik dan alim kita telah tiada diantara kita. Atas hal itu marilah kita iringkan do’a semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan beliau, melimpahkan rahmat kepada beliau, dan memasukkan beliau ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu.
Alfatihah...

Selamat Tahun Baru 2010

Dipenghujung tahun ini aku cuma mampu berkontemplasi,
merefleksi diri dan menyesali masa silam yang kelam,
merenung harapan yang tak jadi kenyataan,
merenung cita-cita yang kandas, rencana yang buyar
mimpi yang tak terpenuhi, janji yang tak terbukti
Geram...aku penuh sesal,
Kesal, sebal.
Cemberut.
Merengut

Oh….. setahun, waktuku begitu tersia sia.
Sudah berbuat apa saja aku ini,
Kemana saja aku ini,
Sudah ada perbaikankah?
atau perubahankah?
Sungguh merugi.........
Waktu yang tak pernah kembali
Detik yang tak mau berbalik
Masa yang begitu berharga.. terbang lenyap,
tanpa menyisakan apapun,
rasa tak bermakna.
Hampa.

Jangankan aku hendak ber-euforia
Apalagi bermetafora
Malu pada diri
pada Tuhanku,
Al-Khalik.

Air mata? Habis. Tak tersisa. Tak guna.
Sejenak aku terdiam..
lalu menenggak keatas langit kelam
kutatap pada kerlip sang gemintang, seakan pantul cahayanya
berbisik:
' Hey..Jangan biarkan dirimu larut dikubangan sesal gagalmu'
' Jadikan ia sejarah dan hikmah masa lalumu'
’Jadikan cambuk pelecut larimu’
' Berhijrahlah, cerialah, bangunlah untuk esok.
' Masih ada hari esok'
’inna ma’al ’usri yusro’
’Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan’

Aku mengangguk dan setuju.
Aku percaya ada hari esok.
Ada secercah harapan
Kendati penuh misteri.
Namun kutetap berharap.
Kalau esok ada mentari,
menguak awan muram,
nan kelabu dan sendu
lalu ada langit biru,
ada burung berkidung.

Ya..demi masa dan waktu
Kutunggu, penuh rindu.

Selamat Tahun Baru 2010
TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI