Kamis, 12 November 2009

Menulis untuk membebaskan

Oleh Hernowo
Anda harus menulis dan menyingkirkan sekian banyak ‘materi sampah’ sebelum Anda akhirnya merasakan suasana yang nyaman.
-- RAY BRADBURY

Aku tak ingin disiksa oleh buku. Aku juga tak mau jika kegiatan menulisku membebaniku. Aku ingin sekali, ketika membaca dan menulis, seluruh diriku merasakan kebebasan—katakanlah, dalam bahasa yang lebih melayang, “merasakan kebahagiaan”. Aku baru merasakan bahwa membaca itu menyenangkan dan menulis itu menyembuhkan ketika usiaku melewati empat puluh tahun.

Sedari kecil, aku tak punya cita-cita menjadi penulis. Aku juga bukan keturunan keluarga penulis. Tak ada setetes-darah-penulis pun yang mengalir di tubuhku.

Ayahku berasal dari Blora, ibuku dari Magelang. Pekerjaan terakhir ayahku adalah pegawai kantor pajak. Ibuku, seperti istri kebanyakan, adalah ibu rumah tangga.

Agak sulit menjelaskan kenapa aku kini, tiba-tiba, menjadi penulis. Hingga pertengahan 2005, aku sudah menulis 24 buku. Dari ke-24 bukuku itu, 17 buku kuselesaikan dalam waktu 3 tahun! Buku-buku yang kutulis, sebagian besar, berfokus pada dua hal: tentang pengalamanku menjalankan kegiatan baca-tulis dan bagaimana aku menerapkan metode-metode baru kegiatan belajar-mengajar yang menyenangkan dan memberdayakan.

Buku pertamaku, Mengikat Makna, lahir ketika usiaku 44 tahun. Buku pertamaku itu kuterbitkan tepat di hari kelahiranku, 12 Juli 2001. Buku ini berisi tentang paradigma baru membaca dan menulis yang kualami ketika aku bekerja di sebuah penerbitan buku. Dari perumusan konsep “mengikat makna” inilah rupanya proses kreatifku sebagai seorang penulis bermula.

“Mengikat makna” adalah kegiatan sangat penting dalam hidupku setelah aku berusia 44 tahun. Hari-hariku, rasa-rasanya, tak pernah kosong dari kegiatan “mengikat makna”. Aku semakin “rakus” membaca dan bergairah mengeluarkan apa pun, yang aku dapat dari membaca, berkat “mengikat makna”. “Mengikat makna” memang sebuah program yang memadukan kegiatan membaca dan menulis secara bersamaan.

Berulang kali mantra “mengikat makna” kusemprotkan kepada siapa saja yang punya keinginan membaca dan menulis secara menyenangkan dan memberdayakan. Mantra itu, kira-kira, bunyinya seperti ini: “Membaca adalah memasukkan sebanyak mungkin kata-kata ke dalam diri; sementara, menulis adalah mengeluarkan atau menampilkan pengalaman-batin lewat bantuan kata-kata.

“Mustahil menjalankan kegiatan menulis dengan enak dan lancar, tanpa didahului dengan kegiatan membaca. Sebaliknya, mustahil pula menjalankan kegiatan membaca secara sangat efektif apabila, usai membaca, tidak dilanjutkan dengan ‘mengikat’ (menuliskan) hal-hal penting yang diperoleh dari membaca. Membaca memerlukan menulis dan menulis memerlukan membaca.”

Ketika aku tergila-gila menjalankan program “mengikat makna” setiap hari, aku menemukan model-model baru pembelajaran yang disebut brain-based learning. Ajaib, aku pun kemudian ikut-ikutan mengonsep kegiatan membaca dan menulisku berbasiskan cara kerja otak. Aku menyebutnya brain-based writing. Setiap kali kusebut kata “writing”, pastilah yang kumaksud bukan hanya menulis, tetapi juga “reading”. Ingat, menulis perlu membaca dan membaca perlu menulis!

Rupanya, “mind mapping” (mengeluarkan apa pun yang kita simpan di dalam diri dengan menggunakan otak kanan dan otak kiri) telah membuatku semakin kreatif menulis. Aku menyelesaikan buku yang menjelaskan kehidupanku bersama anggota keluargaku, 7 Warisan Berharga, dalam tempo tak ada tiga bulan gara-gara metode temuan Tony Buzan tersebut. “Mind mapping”, atau dalam versi Dr. Gabriele Luser Rico disebut metode “clustering”, telah membangkitkan daya kreatifku dalam menulis secara dahsyat.

Bayangkan, sebelum berkenalan dengan metode “mind mapping”, aku dulu menjalankan kegiatan menulis hanya dengan satu belahan otak. Berkat “mind mapping”, aku kemudian secara sadar mampu menggunakan dua belahan otak dalam menulis. Metode “mind mapping” berhasil menyinergikan kekuatan otak kiri dan otak kanan. Tulisan-tulisanku menjadi sangat logis, tertata, dan urut, namun juga menyentuh, menggugah, dan menyala sangat terang.

Lewat menulis berbasiskan cara kerja otak, aku semakin menemukan manfaat-manfaat luar biasa dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Aku kemudian mengenal hasil riset seorang neurolog, Dr. Edward Coffey. Dr. Coffey menunjukkan kepadaku bahwa membaca sangat bermanfaat untuk memperkaya jaringan saraf otak. Mungkin bagi orang lain, ini hal biasa. Namun, bagiku, entah kenapa, hasil riset Dr. Coffey ini benar-benar membangkitkan motivasi membacaku.

Aku lantas terinspirasi untuk menulis Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Belakangan, setelah hampir dua tahun buku itu beredar, aku tergerak untuk menaikkan konsep yang kutulis di Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza ke tingkat yang lebih tinggi. Lahirlah kemudian buku dengan judul Vitamin T. Aku memang gemar menyamakan buku dengan makanan—makanan untuk ruhani. Apabila ada makanan yang bergizi, tentu ada buku yang bergizi. Lewat Vitamin T, aku mencoba membuktikannya.

Dalam eksplorasiku mencari manfaat membaca dan menulis, aku pun akhirnya tiba pada hasil riset seorang psikolog bernama Dr. James W. Pennebaker. Dia membukukan risetnya dalam buku yang sangat menggairahkanku. Judul buku itu Opening Up. Buku Dr. Pennebaker ini bercerita dengan enak dan lancar soal menulis yang dapat menyembuhkan depresi. Semula aku tak percaya. Namun, setelah aku mengikuti petunjuk-petunjuknya, aku merasakan manfaat menulis yang benar-benar membebaskan diriku.

Aku kemudian terbebas dari rasa kurang percaya diri. Aku juga merasakan kelegaan yang sangat luar biasa usai menulis. Aku juga menjadi leluasa untuk memulai dan mengakhiri menulis. Bahkan yang menurutku sangat hebat, metode “opening up”—demikian aku menyebut temuan Dr. Pennebaker—ini dapat mengalirkan “kotoran-kotoran” yang mengendap di batinku sekaligus juga memunculkan “mutiara-mutiara” yang berupa gagasan-gagasan brilianku.

Kegiatan membaca dan menulis semakin kujalankan secara gila-gilaan setelah aku bertemu dengan rumusan-rumusan ahli linguistik Dr. Stephen D. Krashen. Dr. Krashen meneliti kekuatan-dahsyat membaca. Hasil risetnya itu kemudian dibukukan dengan judul The Power of Reading. Menurut dia, orang-orang yang bisa menulis menyatakan bahwa mereka belajar menulis dari membaca.

Apabila riset-riset para pakar, tentang membaca dan menulis, itu aku gabungkan dengan hasil bacaanku tentang metode-metode baru pembelajaran, aku sadar bahwa kreativitas itu hanya dapat lahir apabila orang yang mau melahirkan daya kreatifnya itu berada dalam keadaan yang senang. Dalam bahasa kecerdasan emosi, orang itu harus berada dalam balutan emosi positif.

Untuk menjadi kreatif—memiliki banyak gagasan baru dan mudah mengalirkan gagasan baru itu dalam bentuk tulisan—aku harus berada dalam keadaan yang menyenangkan. Menyenangkan yang kumaksud di sini adalah suatu keadaan yang memungkinkan seseorang merasakan bangkitnya minat, meningkatnya keterlibatan dirinya dengan kegiatan yang sedang dijalani, terciptanya makna, dan hadirnya nilai yang membuat diri orang tersebut mengecap secercah kebahagiaan.

Di samping semua itu, aku juga masih ingat pesan J.K. Rowling—pencipta tokoh fiktif, Harry Potter—berkaitan dengan menulis. Rowling bilang kepadaku bahwa “jika kamu dapat menuliskan sesuatu dalam keadaan senang, tentulah para pembaca tulisanmu juga akan merasa senang ketika membaca tulisanmu”.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI